Candi Jiwa
Yak,
mulailah balada kami pada siang itu berjalan beriringan memasuki
Kompleks Situs Batujaya. Jalan setapak buatan selebar 1 meter menjadi
jalanan yang harus kami tempuh. Selepas melewati toilet percandian,
dalam jarak tidak terlalu jauh (sekitar 500 meter), diantara hamparan
tanaman padi, kami bertemu dengan Candi Jiwa. Bangunan candi itu nampak
besar di depan kami. Memang sich, kalau dibandingkan dengan kompleks
Prambanan atau Borobudur, candi ini kalah besar. Ukuran Candi Jiwa hanya
sebesar 19mx19m saja. Parit dibuat mengelilingi candi tersebut dan di
luar dari parit tersebut, candi ini dikelilingi oleh pagar. Plang Candi
Jiwa terpampang dengan jelas di depan halaman candi ini. Untuk mencapai
candi, saya harus menuruni parit yang agak curam.
Hal pertama yang terbersit dalam pikiran saya adalah : “kenapa diberi nama Candi Jiwa sich?”. Soalnya, nama desa ini adalah Desa Segaran. Saya jadi bertanya-tanya donk, darimana mereka menemukan nama “Jiwa” untuk dipasangkan pada candi? Sedikit penyelidikan yang saya lakukan, nama “Jiwa” yang dipasangkan pada candi ini bukan tanpa makna semata. Sama seperti nama-nama suatu tempat, umumnya kisahnya banyak sehingga ujung-ujungnya menjadi kabur darimanakah asal nama yang sebenarnya. Nah, untuk versi Candi Jiwa, ada 3 versi asal nama candi ini. Versi pertama adalah versi dengan bau mistik yang sangat keras. Jadi, dahulu sebelum Candi Jiwa dan Situs Batujaya ditemukan, wilayah ini penuh dengan unur (bukit, menurut dialek setempat). Unur-unur itu sering dijadikan tempat untuk menggembalakan kambing. Nah, konon, kambing-kambing yang digembalakan di tempat tersebut bisa tiba-tiba mati. Jangankan kambing, orang saja bisa sampai sakit tiba-tiba dan kemudian meninggal. Nah, karena sering mengambil jiwa makhluk hidup yang berada di unur tersebut, maka candi ini disebut Candi Jiwa.
Versi kedua adalah bentuk Candi Jiwa ini mirip dengan tempat meletakkan dan membakar mayat atau juga kuburan. Bunga Padma, simbol Agama Buddha yang memahkotai bagian atas candi diasosiasikan sebagai bunga kematian. Karena sering digunakan sebagai tempat pembakaran mayat, maka candi ini dinamakan Candi Jiwa. Nah, Versi terakhir merupakan versi yang agak samar. Nama Jiwa dikaitkan dengan nama Syiwa, Dewa yang paling dipuja dalam masyarakat Hindu Jawa Kuno. Menariknya, Candi Jiwa sendiri beraliran Agama Buddha dan dalam Agama Buddha, tidak ada Dewa Syiwa. Misteri-misteri ini meliputi nama hingga bangunan Candi Jiwa sampai kini. Selain nama, bentuk fisik candi ini pun tergolong unik karena tiada duanya di Indonesia. Seperti kita tahu, candi sebagai tempat pemujaan biasanya berkarakteristik membelakangi gunung, memiliki ruang, dan ada tangga serta pintu masuk. Namun, Candi Jiwa ini memiliki bentuk yang agak ‘nyeleneh’ dan berada di luar pakem kebiasaan. Pada Candi Jiwa, tidak ditemukan adanya tangga. Bentuk fondasi yang demikian membuat para ahli percaya bahwa ini adalah stupa, terlebih dengan adanya hiasan Bunga Padma pada bagian puncak candi.
Berhubung Candi Jiwa tidak memiliki ruang, maka tidak banyak yang bisa dilakukan di candi ini selain mengelilingi bangunannya. Kalau memperhatikan secara detail bentuk fisik candi ini, pastinya akan timbul pertanyaan. Biasanya, candi yang lebih muda kan menggunakan batu bata sebagai bahan penyusunnya? Tapi, Candi Jiwa berasal dari era prasejarah yakni sekitar abad 4. Koq bisa yach? Satu lagi pertanyaan yang mengiringi pertanyaan tersebut adalah, pada jaman itu belum dikenal teknik pencetakan batu bata. Teknik pengukiran batuan andesit lebih dikuasai manusia pada jaman itu. Secara sederhana bisa disimpulkan, nenek moyang kita memiliki teknik dan kemampuan yang sangat hebat sehingga sudah mampu menghasilkan karya berupa candi dengan teknik batu bata cetak. Ini juga merupakan misteri lain yang harus dijawab oleh para arkeolog negeri ini.
Buat teman-teman yang hobi berfoto, silahkan saja mau bergaya seekspresif dan sekreatif apapun dalam membuat pose di candi ini. Namun, berhubung candi ini sudah berusia 1600 tahun, lebih tua dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyutnya kita, maka sebaiknya berhati-hati. Walaupun tergolong kuat karena sudah berdiri lebih dari 1 milenium dan 6 abad, namun potensi kerusakan selalu ada. Beberapa sudut candi sudah tidak terlalu utuh lagi karena bekas dipendam. Susunan batu bata yang ada di sekeliling candi juga tampak rapuh. Sebaiknya sich nggak diinjak sembarangan agar tidak merusak mahakarya purbakala dari nenek moyang kita. masih mau donk, anak cucu kita melihat candi ini di kemudian hari?
Hal pertama yang terbersit dalam pikiran saya adalah : “kenapa diberi nama Candi Jiwa sich?”. Soalnya, nama desa ini adalah Desa Segaran. Saya jadi bertanya-tanya donk, darimana mereka menemukan nama “Jiwa” untuk dipasangkan pada candi? Sedikit penyelidikan yang saya lakukan, nama “Jiwa” yang dipasangkan pada candi ini bukan tanpa makna semata. Sama seperti nama-nama suatu tempat, umumnya kisahnya banyak sehingga ujung-ujungnya menjadi kabur darimanakah asal nama yang sebenarnya. Nah, untuk versi Candi Jiwa, ada 3 versi asal nama candi ini. Versi pertama adalah versi dengan bau mistik yang sangat keras. Jadi, dahulu sebelum Candi Jiwa dan Situs Batujaya ditemukan, wilayah ini penuh dengan unur (bukit, menurut dialek setempat). Unur-unur itu sering dijadikan tempat untuk menggembalakan kambing. Nah, konon, kambing-kambing yang digembalakan di tempat tersebut bisa tiba-tiba mati. Jangankan kambing, orang saja bisa sampai sakit tiba-tiba dan kemudian meninggal. Nah, karena sering mengambil jiwa makhluk hidup yang berada di unur tersebut, maka candi ini disebut Candi Jiwa.
Versi kedua adalah bentuk Candi Jiwa ini mirip dengan tempat meletakkan dan membakar mayat atau juga kuburan. Bunga Padma, simbol Agama Buddha yang memahkotai bagian atas candi diasosiasikan sebagai bunga kematian. Karena sering digunakan sebagai tempat pembakaran mayat, maka candi ini dinamakan Candi Jiwa. Nah, Versi terakhir merupakan versi yang agak samar. Nama Jiwa dikaitkan dengan nama Syiwa, Dewa yang paling dipuja dalam masyarakat Hindu Jawa Kuno. Menariknya, Candi Jiwa sendiri beraliran Agama Buddha dan dalam Agama Buddha, tidak ada Dewa Syiwa. Misteri-misteri ini meliputi nama hingga bangunan Candi Jiwa sampai kini. Selain nama, bentuk fisik candi ini pun tergolong unik karena tiada duanya di Indonesia. Seperti kita tahu, candi sebagai tempat pemujaan biasanya berkarakteristik membelakangi gunung, memiliki ruang, dan ada tangga serta pintu masuk. Namun, Candi Jiwa ini memiliki bentuk yang agak ‘nyeleneh’ dan berada di luar pakem kebiasaan. Pada Candi Jiwa, tidak ditemukan adanya tangga. Bentuk fondasi yang demikian membuat para ahli percaya bahwa ini adalah stupa, terlebih dengan adanya hiasan Bunga Padma pada bagian puncak candi.
Berhubung Candi Jiwa tidak memiliki ruang, maka tidak banyak yang bisa dilakukan di candi ini selain mengelilingi bangunannya. Kalau memperhatikan secara detail bentuk fisik candi ini, pastinya akan timbul pertanyaan. Biasanya, candi yang lebih muda kan menggunakan batu bata sebagai bahan penyusunnya? Tapi, Candi Jiwa berasal dari era prasejarah yakni sekitar abad 4. Koq bisa yach? Satu lagi pertanyaan yang mengiringi pertanyaan tersebut adalah, pada jaman itu belum dikenal teknik pencetakan batu bata. Teknik pengukiran batuan andesit lebih dikuasai manusia pada jaman itu. Secara sederhana bisa disimpulkan, nenek moyang kita memiliki teknik dan kemampuan yang sangat hebat sehingga sudah mampu menghasilkan karya berupa candi dengan teknik batu bata cetak. Ini juga merupakan misteri lain yang harus dijawab oleh para arkeolog negeri ini.
Buat teman-teman yang hobi berfoto, silahkan saja mau bergaya seekspresif dan sekreatif apapun dalam membuat pose di candi ini. Namun, berhubung candi ini sudah berusia 1600 tahun, lebih tua dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyutnya kita, maka sebaiknya berhati-hati. Walaupun tergolong kuat karena sudah berdiri lebih dari 1 milenium dan 6 abad, namun potensi kerusakan selalu ada. Beberapa sudut candi sudah tidak terlalu utuh lagi karena bekas dipendam. Susunan batu bata yang ada di sekeliling candi juga tampak rapuh. Sebaiknya sich nggak diinjak sembarangan agar tidak merusak mahakarya purbakala dari nenek moyang kita. masih mau donk, anak cucu kita melihat candi ini di kemudian hari?